Langsung ke konten utama

Schistosomiasis (Bilharziasis)

SCHISTOSOMIASIS (Bilharziasis)
DEFINISI
Kata “Schistosoma” (sistosoma) berasal dari kata “schist” yang berarti suatu alur atau kanal yang panjang. Sistosoma satu-satunya trematoda yang mempunyai dua jenis kelamin, sedangkan trematoda yang lain bersifat hermaprodisme (dalam satu individu sudah bersifat jantan dan betina sekaligus).
            Sistosomiasis atau “demam sungai” disebut juga bilharziasis dari nama Theodor Bilharz, seorang ahli patologi berkebangsaan Jerman yang mengidentifikasi cacing ini pada tahun 1851.
            Ada lima spesies sistosoma yang distribusi dan prevelensinya berada menurut lokasinya di dunia serta mengakibatkan gejala yang berbeda pula yaitu:
       1)      S. mansoni yang tersebar lebih luas di Afrika, semenajung Arabia dan Laut Tengah bagian Timur, Amerika Selatan (Brazilia, Venezuela dan Suriname), dan kepulauan Caribia (Puetro Rico, tanpa Cuba). S. mansoni paling luas penyebarannya di duna. Sistoma ini hanya dapat menginfeksi manusia dan rodensia.
2)      S. hematobium yang dominan di Afrika dan Laut Tengah bagian Timur
3)      S. japanicum yang distribusinya terbesar di Cina, Filipina, dan Asia Tenggara (Kamboja, Laos,Thailand, dan Indonesia) yang dapat menginfeksi selain manusia juga menginfeksi babi, anjing, dan kerbau air.
4)      S. mekongki  yang hanya prevalen di delta sungai Mekong di Thailand, Kamboja, dan Laos.
5)      S. intercalatum yang ditemukan di Afrika Tengah.
Pada uraian ini hanya dibicarakan s. mansoniI, S. hematobium, dan S.schistosoma japanicum satu-satunya yang di temukan di Indonesia yaitu danau Lindu dan lemba Napu Sulawesi Tengah.
      Sistomiasis dunia baru lokasi infeksi primernya pada sistim saluran cerna. Kerusakan dindidng intestinum akibat respons imun penjamu (hospes) terhadap penempatan telur-telur di tempat itu. Telur-telur juga mensekresi enzim proteolitik yang merusak jaringan. Gambaran klinisnya berupa perdarahan saluran cerna, diare, dan kerusakan hepar. Penyakit ini di pindahkan melalui penetrasi kulit secara langsung. Diagnosis bentuk sistosoma dunia baru adalah S. japonicum dan . mansoni. Terapinya prazinakuantel.
      Pada sistosomiasis dunia lama lokasi primer infeksinya adalah vena-vena di buli-buli tempat meletakkan telur-telurnya yang dapat merangsang terjadinya jaringan fibrosis dan granulomatosa, serta hematuria. Sama halnya dengan sistosomasis dunia baru, penyakit ini di pindahkan melalui penetrasi kulit secara langsung. Diagnosis sistosomiasis ini dengan menentukan telur-telur yang khas dalam urine atau dinding buli-buli. Yang termasuk sistosoma dunia lama adalah S. hematobium.
      Menurut gambaran klinisnya sistosomiasis dibagi dua jenis yaitu sistosomiasis vesikalis (urinarius) dan sistosomiasis intestinalis. Sistosomiasis vesikalis disebabkan oleh S. hematobium, sedangkan sistosomiasis intestinalis di sebabkan oleh dua jenis sistosoma yaitu S. mansoni, dan S. japonicum. Mamalia merupakan reservoir penting S. japonicum, sedangkan S. mansoni dan S. hematobium reservoir utamanya manusia, walaupun S. mansoni dapat juga menginfeksi beberapa species hewan.

MORFOLOGI
Sistosoma dewasa betina dan jantan terpisah, namun biasanya di temukan berpasangan. Jantan dewasa mempunyai canalis ginocoforik ventralis dimana sang betina di peluk oleh sang jantan. Cacing betina dewasa lebih panjang dari pada cacing jantan, keduanya berbentuk silindris dan intestinumnya berwarna hitam karena menelan eritrosit. Sifat khas spesies cacing betina tergantung dari posisi ovarium, panjang uterus dan jumlah telur di dalamnya. Kedua jenis kelamin masing-masing mempunyai dua alat isap dan berujng buntu. Integumentum sistosoma mirip dengan banyak cacing darah (blood fluke) yang lain, teridiri dari dua lapisan lemak dengan masing-masing ketebalannya 7 nm, keseluruhan tebalnya 18 nm. Ukuran S. mansoni dewasa 6-13 mm. morfologi sistem alat reproduksi jantan (A) dan betina (B) sistosomiasis dapat di lihat pada Gambar di bawah ini. 
            Telur sistosoma tidak mempunyai operculum (sumbat penutup) namun mempunyai spina yang posisinya khas pada setiap spesies. Telur S. mansoni spinanya terletak sebelah lateral jelas terlihat. S. japonicum juga lateral, namun kadang-kadang sulit terlihat, dan S. hematobium mempunyai spina terminalis yang mudah terlihat. Dinding telur terbuat dari bahan protein resisten yang menyusun granula kantong telur. Ketika diletakkan telur sudah berisi mirasidia yang akan matang betul dalam 10 hari. Dalam hospes (manusia atau hewan) telur tidak dapat menetas, namun bila mendapat lingkungan yang baik seperti suhu, pH, kadar garam, dan cahaya, maka telur akan pecah menurut axis memanjang.

SIKLUS HIDUP SISTOSOMA
Cacing dewasa hidup dalam vanule terminalis usus (S. mansoni dan S. japonicum) atau buli-buli (S. hematobium). Sistosoma mansoni bermigrasi ke vena mesenterika inferior usus besar, S. japonicum bermigrasi baik ke vena mesenterika inferior maupun ke vena mesentrika superior pada usus kecil dan besar, namun lebih sering pada vena mesentrika superior usus besar. Pada dinding usus tersebut membentuk jaringan fibrosis dan granulomatosa lalu terbentuk ulkus dan polip. Sistosoma hematobium paling sering sering bermigrasi ke pleksus vesikalis, namun dapat juga ditemukan dalam vena-vena dalam rectum. Telur-telur sistosoma dapat keluar bersama tinja atau urine lalu masuk ke dalam air tawar, larvanya (mirasidium) keluardari telur dan selanjutnya menginfeksi semacam siput sebagai penjamu perantara (intermediate host). Sistosoma hanya mempunyai satu jenis hospes perantara yaitu semacam keong air tawar yaitu untuk S. hematobium adalah genus Bolinus, S. japonicum genus Oncomalania.
            Dalam siput (menjadi sporokista I, sporokista II), dan selanjutnya berkembang menjadi ribuan serkaria yang infektif lalu meninggalkan siput masuk berenang dalam air tawar yang hanya dapat bertahan hidup selama 48 jam. Manusia dapat terpajan dengan serkaria melalui kulit atau mukosa mulut dan saluran cerna bila berada dalam air sewaktu mandi, berenang, menyebrangi sungai atau mencuci pakaian. Dalam tubuh serkaria segera menjadi larva sistosomula yang akan sampai pada sirkulasi portal dalam hepar dan disinilah segera menjadi cacing dewasa berpasangan dan kawin, dan selanjutnya bermigrasi ke venulae terminalis usus, lalu betina meletakkan telurnya. Setiap betina dapat bertelur  200-2000 butir perhari selama 20 tahun. Dengan adanya semacam sekresi zat lisis, beberapa telur dapat sampai ke lumen usus atau buli-buli, dan dengan demikian telur-telur dapat masuk tinja atau urine.

EPIDEMOLOGI
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 800 juta penduduk dunia yang berisiko terkena sistosomiasis, 200 juta yang sudah terinfeksi dan 120 juta yang bergejala. Sistosomiasis berhubungan dengan dengan factor kemiskinan, sanitasi yang jelek  dan tempat tinggal yang kumuh. Di daerah endemis insidens sistomiasis umunya rendah. Prevalensi berhubungan dengan umur dari 3-4 than meningkat sampai 100% pada umur 15-20 tahun, lalu meurun kembali setelah 40 tahun. Beratnya infeksi ditentukan menurut jumlah telur dalam urine atau tinja, hal mana sesuai pula dengan banyaknya cacing dewasa. Penurunan ini mungkin akibat dari timbulnya resistensi atau karena adanya perubahan-perubahan dalam kontaminasi dengan air, sebab pada orang yang lebih tua sudah kurang terpajan dengan air tercemar dengan telur-telur sistosoma. Selanjutnya, distribusi sistosoma di pengaruhi oleh heterogenitas populasi cacing, yang satu lebih infasif dari pada yang lain akibat kerentanan invasif penjamu sendiri. Sistomisiasis melibatkan perpaduan deri beberapa factor yaitu parasit, hospes, infeksi tambahan, nutrisi, dan factor lingkungan. Umumnya sindrom penyakit berhubungan dengan adanya satu atau lebih stadium parasit dalam hospes manusia. Distribusi penyakit ini di daerah endemis biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya infeksi, umur dan kerentanan genetic hospes. Sistosomiasis hanya muncul pada sekelompok kecil orang yang terinfeksi salah satu dari sistosoma intestinalis. Sebaliknya pada sistosoma urinarius maifestasi kebanyakan individu yang terinfeksi. Belum di ketahui mengapa pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS) yang terinfeksi sistosoma ditemukan sangat kurang telur-telur cacing dalam tinjannya, namun tetap baik responsnya terhadap terapi dengan praziquantel.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi infeksi berhubungan dengan siklus hidup dari parasit sebagai berikut:
Serkaria
Penetrasi serkaria pada kulit menyebabkan dermatitis alergika di tempat masuknya. Pada stadium ini kelainan kulit berupa eritema dan papula dengan rasa gatal dan panas 2-3 hari pasca infeksi dan disebut “swinner’s itch”, paling sering di sebabkan oleh S. mansoni dan S, japonicum. Bilamana jumlah serkaria menembus kulit cukup banyak, maka dapat terjadi dermatitis (cercarial dermatitis) yang akan sembuh sendiri dalam lima hari. Gambaran klinis toksemia berat disertai demam tinggi dapat terjadi, terutama infeksi yang berulang. Keluhan berupa lemah, malese, anureksia, mual dan muntah, sefalgia, mialgia daan artralgia. Diare akibat adanya keadaan hipersensitif terhadap cacing; kadang-kadang sakit perut dan tenesmus. Gejala toksemia dapat berlangsung sampai tiga bulan. Hepatosplenomegali disertai nyeri tekan dapat pula di temukan.
Sistosomula
Sistosomula merupakan cercaria yang tidak berekor yang diangkut melalui darah atau limfatik kesebelah kanan paru-paru dan jantung. Infeksi berat dapat menyebabkan gejala seperti batuk. Eosinophilia bisa juga ditemukan.
Cacing Dewasa
Sistosoma dewasa tidak memperbanyak diri dalam tubuh manusia. Di dalam darah vena, cacing jantan dan betina kawin, kemudian betina bertelur 4-6 minggu setelah penetrasi cercaria. Cacing dewasa jarang bersifat petogen. Cacing betina dewasa dapat hidup sekitar 3-8 tahun bahkan lebih 30 tahun dan bertelur sepanjang hidupnya, namun tidak merusak karena hanya telur-telurnya saja yang dapat merusak organ.
Telur
Telur-telur inilah yang menyebabkan sistosomiasis dan demam katayama. Hingga saat ini demam katayama patofisiologinya yang tepat belum di ketahui. Demam katayama di laporkan paling sering pada S. japonicum tetapi juga telah dilaporkan terjadi pada S. mansoni, jarang di rasakan pada S. hematobium.
            Terkumpulnya telur dalam hepar dapat mengakibatkan fibrosis periportal dan selanjutnya hipertensi portal, namun fungsi hati tetap normal bahkan sampai tahap lanjut dari penyakit. Kolateralalisasi sistim portal kerena hipertensi portal dapat mengakibatkan embolisasi telur-telur ke dalam paru-paru, selanjutnya dapat terjadi hipertensi pulmonal dan korpulmonalis. Karena Sistosoma japonicum lebih banyak mengeluarkan telur, seehingga sering dianggap menimbulkan penyakit yang lebih berat. Cacing dewasa S. hematobium matang dalam pleksus venosa buli-buli, ureter, rectum, prostat, dan usus. Adanya jaringan granulomatosa dan fibrosis pada dinding buli-buli memudahkan terjadinya ulkus dan polip, dan sisa-sisa telur dapat mengalami klasifikasi. Striktur orifisium uretralis atau ureter terminalis dapat mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis dan infeksi asenderen saluran kemih. Lesi organ-organ lain dalam pelvis jarang mengakibatakan fibrosis berat dan infeksi. Telur-telur diangkut ke hepar atau paru, tetapi perubahan patologis jarang terjadi pada S. mansoni dan S. japonicum.

PATOGENESIS, IMUNITAS DAN GAMBARAN KLINIS
Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan oleh tiga stadia cacing sistosoma yaitu serkaria, cacing dewasa dan telur. Yang paling sering banyak menyebabkan kelainan adalah telur. Perubahan-perubahan pada sistosomiasis dapat dibagi dalam tiga stadia yaitu:
           1)      Masa tunas biologic
           2)      Stadium akut
           3)      Stadium menahun
Masa Tunas Biologik
Waktu antara serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasa di sebut masa tunas biologic (masa prepatent). Disini terjadi respons baik humoral maupun seluler. Reaksi alergis yang tejadi akibat dari hasil matabolik sistosomula atau cacing dewasa, dan protein asing yang di sebabkan adanya cacing yang mati. Manifestasi klinisnya dapat berupa urtikaria atau edema angioneurotik, dapat disertai demam 10 hari kemudian. Gejala batuk produktif dan hemoptisis sering di temukan pada pasien yang sangat sensitive dan dapat timbul serangan asma. Keadaan toksik dapat muncul antara minggu antara minggu kedua sampai minggu kedelapan pasca infeksi.
Stadium Akut (Demam Katayama)
Deman katayama dianggap mempunyai kaitan dengan rangsangan telur dan antigen cacing yang diakibkan oleh terbentuknya kompleks imun, 4-6 minggu setelah terinfeksi yaitu ketika terjadi pelepasan telur. Sindrom sistosomiasis akut berkaitan dengan reaksi imunologis telur sistosoma merangsang suatu reaksi granulomatosa terdiri atas sel T, makrofag, dan eosinofil mengakibatkan manifestasi klinis. Tanda dan gejala tergantung dari banyaknya dan lokasi telur pada jaringan pada awal terjadinya reaksi inflamasi yang reversible, mirip “serum sciness” yang disertai demam, keringat banyak, mengigil dan batuk-batuk, limfadenopati generalisata, dan hepatosplenomegali. Demam katayama jarang dirasakan pada S. hematobium. Keluhan ini mulai ringan sampai berat, jarang menimbulkan kematian.
            Sidroma disentri biasanya ditemukan pada infeksi berat, sedangkan yang ringan hanya diare.
            Hepatomegali timbul lebih dini disusul dengan splenomegali. Hal ini dapat terjadi dalam waktu 6-8 bulan setelah infeksi. Selanjtnya penderita memasuki periode asimptomatis 2-8 minggu, namun demikian secara umum perlangsungannya ringan. Pada pemeriksaan laboratorium mungkin didapatkan lekositosis dan eosinifilia berat. Karean hasil pemeriksaan tinja pada awal infeksi sering hasilnya negative, maka dianjurkan pemeirksaan diulang sedikitnya enam kali, sedangkan pemeriksaan serologis positif beberapa minggu setelah telur di temukan dalam tinja.
Stadium Kronik
            Stadium ini mulai enam bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi. Pada infeksi S. mansoni dan S. japonicum ditemukan diare, nyeri perut, berak darah. Pada stadium ini kebanyakan manifetasi klinisnya disebabkan oleh penumpukan telur-telur dalam jaringan. Respons jaringan granulomatosa di sekitar telur berupa sel-sel yang di atur oleh ada atau tidak adanya suatu kaskade respons sitokin, selular dan humoral. Pembentukan granulosomata mulai dengan pengerahan sel-sel radang sebagai respons atas sekresi antigen oleh organism hidup dalam telur. Respons ini dimulai dengan pengerahan sel-sel termasuk fagosit, sel T spesifik dan eosinofil. Sel-sel fibroblast, sel-sel raksasa, sel–sel limfosit B akan dominan kemudian hari. Sekali diaktifkan, sel-sel T akan menghasilkan bebagai sitokin misalnya tumor necrosis α (TNF-α), interleukin 2 (IL-2), IL-4, dan IL-5, yang selanjutnya mengaktifkan sel-sel endotel untuk mengluarkan sekresinya (kemokin) yang spesifik seperti manosites chemotactic protein 1 (MCP-1). Akibat rekruitmen elemen sel-sel akan mendorong pembentukan jaringan granulomatosa di sekitar telur-telur. Lesi ini berlipat-lipat kali besarnya dari telur-telur, dan menyebabkan organomegali dan obstruksi. Peningkatan atau penurunan respon kekebalan hospes terhadap telur-telur sistosoma memegang peranan penting dalam membatasi meluasnya jaringan granulomatosa terjadi pembentukan jaringan fibrosis. Hepar yang tadinya membesar (hepatomegali) karena peradangan dan pembentukan lesi granulomatosis, kemudian mengecil karena terjadi fibrosis (sirosis hepatis). Pada sirosis akibat sistosomiasis yang terjadi adalah sirosis periportal yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal kerena adanya bendungan dalam jaringan hati. Tanda yang timbul berupa splenomegali, edema pada tungkai bawah alat kelamin, asites dan ikterus. Manifestasi klinis sistosomiasis kronis umumnya ringan atau sedan saja, sehingga tidak perlu dirawat inap, lain halnya dengan sistosomiasis akut dapat fatal, hal ini tergantung dari spesies sistoma. Mulanya di sangka S. japonicum dapat menimbulkan penyakit yang lebih berat karena dapat memproduksi telur 10 kali lebih banyak dari pada S. mansoni, namun kenyataanya di lapangan tidak demikian. Pada stadium yang sangat lanjut pada infeksi S. mansoni dan S. japonicum dapt terjadi hematemetis melena karena pecahnya varises esophagi, dan dapat ditemukan tumor polipoid intestinalis. Beratnya sistosomiasis intestinalis sering berhubungan dengan beratnya infeksi. Dengan adanya infeksi tambahan hepatitis B, hepatitis C atau keadaan malnutrisi mempercepat terjadinya penurunan fungsi hepar. Pada infeksi S. hematobium, gejala dini hari traktus urunarius berupa disuri, lalu hematuria terminalis dan proteinuria. Gross hematuri dapat berulang. Sequele dapat berupa polip buli-buli, sistitis, infeksi salmonella kronis, pielitis, pielonefritis, urolitiasis, hidronefrosis akibat obstruksi utetra, dan gagal ginjal.
            Pada pemeriksaan laboratorium, telur-telur dapat ditemukan dalam sedimen urine, biopsy atau kerokan mukosa rectum atau buli-buli.

KOMPLIKASI
Hanya sebagian kecil penduduk di daerah endemis sebagai pengidap berat sistosoma yang kemudian hari dapat member komplikasi seperti:
·         Hipertensi porta
·         Splenomegali
·         Varises esofagii
·         Gangguan fungsi hati: ikterus, asites, koma hepatikum
·         Hipertensi pulmonal dengan korpulmonale, gagal jantung kanan
·         Gangguan usus besar berupa striktur, granuloma besar, infeksi salmonella yang menetap, poliposis kolon yang mengakibatkan berak darah, anemia, hipoalbuminemia dan clubbing fingers (jari tabuh)
·         Kontraktur leher buli-buli sering di sertai kerusakan M. detrusor
·         Batu buli-buli
·         Obstruksi ren dan buli-buli
·         Gagal ginjal kronik
Kanker buli-buli, mielitis transversa, epilepsy, atau neuritis optika akibat dari telur-telur yang tertimbun melalui sirkulasi kolateral atau cacingektopik (ectopic worms). Pada umumnya sistosoma SSP disebabkan oleh 2-4% infeksi S. japonicum, sedangkan mielitis transerversa terutama oleh S. mansoni.

LABORATORIUM
Telur-telur
Ditemukannya telur-telur dalam ekskreta (tinja dan urine) atau biopsy mukosa merupakan suatu diagnose pasti. Pada S. hematobium lebih sering di temukan dalam sedimen urine, kurang dalam tinja. Urine dikumpulkan 24 jam atau antara jam 09.00 pagi hingga jam 14.00 siang. Telur–telur dapat juga ditemukan dengan biopsy mukosa buli-buli dan hati. Pada infeksi S. mansoni dan S. japonicum telur-telur dapat di temukan dengan pemeriksaan tinja secara langsung atau dengan cara konsentrasi atau kuantitatif Kato-Katz. Dikatakan infeksi berat bila di temukan telur lebih 400 butir dalam 1gram tinja. Bila hasilnya negative dapat di upayakan dengan biopsy mukosa rectum pada lesi peradangan atau granulasi atau secara acak pada 2-3 lokasi mukosa normal
Uji Serologis
Tes- tes imunodiagnosis dapat digunakan bila hasil pemeriksaan urin atau tinja negative atau diperkirakan adanya infeksi ektopik. Hasil yang akurat diperoleh setelah terpajan 6-8 minggu dengan air yang tercemar dengan serkaria. Di sini di periksa antibody terhadap cacing dewasa, sistosomula dan serkaria dengan tes-tes sbb:
·         Enzyme linked immune sorbent assay (ELISA)
·         Radioimmunoassay (RIA)
·         Indirect immunofluorescene test (IFAT)
·         Gel precipitation techniques (GPT)
·         Indirect haemagghttination (IHA)
·         Latex agglutination test (LAT)
·         Circumoval precipitin test (COPT)
·         Cercarienhullen rections (CHR)
·         Complement fixation test (CFT)
·         Tes Western blot untuk kepastian diagnosis
·         Fascon assay screening test (FAST)
·         Immunoblot
Hasil tes tidak ada korelasi dengan beratnya infeksi. Tes antigen dari darah dan urine sensitive dapat membedakan infeksi baru atau lama. Hilangnya antigen yang beredar 5-10 hari pasca terapi menandakan kesembuhan.
Tes lain
Pada infeksi S. mansoni dan S. japonicum esofagoskopi atau kolonoskopi, foto dada atau EKG dapat dilakukan. Gambaran USG pada hepar memberi gambaran patognomonis berupa fibrosis periportal, sehingga tidak perlu dilakukan biopsy. Pemeriksaan ini sangat bermanfat karena
1)      Dapat menilai hipertensi portal
2)      Dapat membedakan sistosomiasis dari sirosis hepatis
3)      Serta dapat menilai kemajuan hasil terapi pada infeksi dini
Pada infeksi S. hematobium dapat dideteksi adanya hematuri tersamar secara mikroskopik atau tes celup terutama pada urine porsi pertama. Pada infeksi lanjut dengan pemeriksaan sistoskopi dapat ditemukan ulkus sandy patches dan adanya daerah-daerah yang mengalami metaplasia. Pata foto polos abdomen bagian bawah dapat ditemukan perkapuran dinding buli-buli atau ureter. Dengan CT dapat menemukan gambaran patognomonis klasifikasi turtleback.

DIAGNOSIS BANDING
Pada keadaan akut dapat dikacaukan dengan: amebiasis, disentri basiler, malaria, leptospirosis, dan sebab hipertensi portal atau poliposis usus. Di daerah endemis sistosomiasis vesikalis harus dibedakan dari penyebab keluhan-keluhan traktus urinarius lain seperti kanker traktus genitourinarius, infeksi saluran kemih (ISK), dan nefrolitiasis, atau tuberculosis ginjal. Bila ada keluhan-keluhan saluran cerna dapat dikacaukan dengan ulkus peptikum, pancreatitis atau penyakit traktus biliaris.

PENCEGAHAN
Jangan berenang atau menyebrangi air tawar di negri-negri dimana terjadi sistosomiasis.
            Minum air yang aman. Air dari kanal, danau, sungai langsung tidak aman diminum. Air dari sumber air panas, sudah di didihkan minimal satu menit atau air saringan aman di minum. Pemberian iodine bukan jaminan keamanan air bebas dari semua parasit.
            Air mandi semestinya dihangatkan dulu selama 5 menit pada suhu 150ºF, atau air disimpan dalam tangki air selama minimal 48 jam sebelum digunakan untuk mandi.
            Menggunakan handuk yang sangat kering setelah kecelakaan, bilasan singkat dengan air yang aman dapat membantu mencegah penetrasi sistosoma pada kulit. Tetapi jangan terlalu mengandalkan handuk kering dalam mencegah sistosomiasis.

PENGOBATAN
Pada tahun 70-an pengobatan sistosomiasis hamper sama hasilnya dengann bahaya obat itu sendiri. Itulah sebabnya kini tinggal beberapa jenis obat yang dapat di berikan pada sistomiasis yaitu:
Praziquantel. Daya sembuh obat ini untuk S. hemotobium, S. mansoni dan S. japonicum, 63-85% dan dapat menurunkan telur-telur lebih 90% setelah 6 bulan terapi. Obat ini tidak sensitive terhadap sistosoma muda (2-5 minggu). Dosis 2 x 20 mg/kg berat badan/hari untuk S. hematobium dan S. mansoni, dan 3x perhari untuk S. japonicum.
            Efek samping berupa malese, sakit kepala, pusing, anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, diare, pruritus, urtikaria, artalgia, dan mialgia. Gejala ini mulai dari ringan sampai sedang, berlangsung beberapa jam sampai satu hari. Menurut WHO obat ini bisa diberikan pada ibu hamil.
Oxamniquine. Obat ini sangat efektif hanya untuk S. mansoni. Dosis sekali 12-15 mg/kg/hari. Ada juga yang memberikan 40-60 mg/kg/hari dosis terbagi 2 atau 3 selama 2-3 hari, diberikan bersama makanan. Angka kesembuhan 70-95%.
            Efek samping terjadi dalam beberapa jam berupa pusing, vertigo, mual-muntah, diare, sakit perut dan sakit kepala. Walaupun jarang terjadi dapat terjadi perubahan tingkah laku, halusinasi, kejang-kejang setelah 2 jam obat di telan. Obat ini mempunyai efek mutagenic dan teratogenik, sehingga tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
Artemisinin. Obat ini yang digunakan untuk terapi malaria, kini sementara dalam penelitian. Obat ini efektif terhadap sistosomula dan mungkin bermanfaat untuk profilaksis. Pada terapi terhadap S.hematobium, efektifitasnya jauh di bawah praziquantel.
Metrifonste. Obat ini sangat efektif hanya untuk S. hematobium; namun kini sudah di tarik peredaran.
Tindakan bedah. Pada keadaan tertentu dibutuhkan tindakan bedah mengeluarkan polip atau sumbatan saluran kemih. Bila ada pendarahan varises esophagus, skleroterapi merupakan tindakan pilihan, walaupun beberapa pasien membaik dengan propranolol. Pada pendarahan yang berulang, pembuatan shunting rupanya kurang bermanfaat. Bila terjadi pansitopeni indikasi untuk splenektomi.
            Untuk mengontrol infeksi sistosoma diperioritaskan pada hal-hal sebagai berikut:
      1)      Pendidikan kesehatan
2)      Penyediaan air minum dan fasilitas sarana kesehatan
3)      Diangnosis dan pengobatan
4)      Menejemen lingkungan
5)      Control hospes perantara (keong air tawar)
 
PROGNOSIS
Dengan terapi pada infeksi dini hasilnya sangat baik. Kelainan patologi dari hepar, ginjal dan usus membaik dengan pengobatan. Pengidap (karier) sistosomiasis hepatosplenik relative baik karena fungsi hepar tetap baik sampai akhir dari penyakit (jika tidak ada perdarahan).
            Korpulmonale tidak membaik secara bermakna dengan terapi. Tergantung dari lokasi dan luasnya lesi biasanya membaik dengan terapi. Karier sistosomiasis medulla spinalis harus diwaspadai. Pemberian praziquantel harus diberikan secepatnya. Dalam keadaan lanjut prognosisnya jelek.



sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakt Dalam Edisi V jilid 3

Komentar

  1. Ejakulasi dini merupakan kesukaran seksual buat cowok yg ditandai bersama ketidakmampuan bersi teguh kedaluwarsa diwaktu bersambung intim. Ejakulasi yg terlampaui serta-merta nyaris tentu senantiasa menciptakan pasangan kecewa. kalau tak diatasi ganjalan ini mampu menghalangi keharmonisan hunian tangga.

    Kali ini kita bakal mengulas sekian banyak rahasia mengalahkan ejakulasi dini yg semesta dilakukan wong, alamat pemakaian remedi, gel, krim hingga dgn latihan-latihan pernafasan perut.

    hingga diwaktu ini tak ada remedi instan yg dapat mengobati ejakulasi dini. justru penyebab terjadinya ejakulasi dini serta belum didapati dengan cara tentu. beraneka ragam resep dan obat-obatan dibuat dan disebut-sebut dapat mengobati dan melebihi ejakulasi dini tapi terus tidak sedikit cowok yg kecewa.

    mengungguli Ejakulasi Dini bersama Cepat

    perihal ini yg menerbitkan ejakulasi dini jadi salah tunggal momok yg ditakuti seputar laki-laki, mampu dimaklumi dikarenakan factor ini tentang kesulitan keperkasaan dihadapan perempuan. sekian banyak jalma laki-laki lebih pilih kehilangan tugas daripada kehilangan kemampuan membebaskan pasangan.

    Peringatan : Sekali lagi apabila anda merasa artikel ana belum terang atau ada hal lain, sehingga kamu dapat klik Chat Online, di mana profesional saya dapat menjawab keluhan kamu, atau hubungi nomer (021)-62303060. Klinik Apollo Jakarta mengharapkan mudah-mudahan kamu selalu sembuh.

    Klinik Apollo Andrologi | Pengobatan kulup panjang

    Metode sunat klinik apollo | Sunat modern biaya terjangkau

    Dokter spesialis | Free Chat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Farmakologi : Pengenalan tentang Obat

       Farmakologi berasal dari kata Pharmacon yang berarti obat  dan Logos  yang berarti ilmu . Farmakologi berarti ilmu yang mempelajari tentang obat secara kimia, fisika/fisiologi. Obat sendiri yaitu zat kimia yang mempengaruhi organ biologis. Berikut beberapa penggolongan obat : 1. Berdasarkan Keamanan      a. Obat Bebas         Obat bebas adalah obat yang relatif paling aman dan dapat di peroleh tanpa menggunakan resep dari dokter. Obat bebas memiliki lambang lingkaran dengan warna Hijau . Contoh obat bebas yaitu :           b. Obat Bebas Terbatas          Obat bebas terbatas adalah obat yang juga relatif aman selama pemakaiannya mengikuti aturan yang ada. Obat bebas terbatas memiliki lambang lingkaran dengan warna Biru . Contoh dari obat bebas terbatas adalah :     c. Obat Keras         Obat keras adalah obat yang berbahaya jika tidak mengikuti aturan pemakaian dan dapat di dapatkan dengan adanya resep dari dokter. Obat keras memiliki lambang lingkaran

Cara Pemasangan Ring pada Jantung

Pemasangan Ring pada Jantung Proses ini terjadi  karena ada penyumbatan di daerah jantung,bisa ditangani dengan menggunakan balon atau pemasangan ring permanen. Alat yang dibutuhkan : ·          IV LINE ·          HEART MONITOR ·          ORAL OR IV SEDATIVE Pertama alat ini dimasukkan melewati femur kemudian dicari penyumbatannya/penyempitannya ,jika sudah ditemukan langsung pasang dengan cara menggelembungkan balon bertujuan untuk melebarkan penyumbatan ,lakukan pengembangan dan pengempisan balon berulang kali di lokasi penyumbatan hingga benar-benar melebar,kemudian dapat menyempit kembali. Bisa juga dengan memasang ring di daerah penyempitan ,balon dilapisi ring kemudian di masukkan pada lokasi penyempitan ,kemudian balon di kempeskan dan ring di tinggalkan di dalam lokasi penyempitan jantung,lalu alat di keluarkan . Perawatan post op (setelah operasi) : 1.        Berbaring selam 2.        beberapa jam 3.        Cek pendarahan di dada 4.        Rawat in

Ciri-ciri Diabetes melitus

DIABETES MELITUS Diabetes melitus adalah keadaan kadar gula dalam darah tinggi   (hiperglikemi) Penyebab : 1)       IDDM (insulin dependent diabetes melitus)    Tergantung dengan insulin ,karena pankreasnya sudah rusak 2)       NIDDM ( Non insulin   dependent diabetes melitus )     Tidak bergantung pada insulin Tanda dan gejala : 1.       Polifagi 2.       Polidipsi 3.       Poliuri 4.       Kesemutan 5.       Lemas Pencegahan : 1.       Kurangi makan makanan yang mengandung gula berlebihan 2.       Olahraga yang teratur 3.       Istirahat yang cukup 4.       Banyak makan sayur dan buah buahan Penatalaksanaan : 1.       Perencanaan makanan ·          Jumlah kandungan kolestrol ≤ 300 mg/hari ·          Jumlah kandungan serat ± 25 mg/hari 2.       Konsumsi garam dibatasi ,bila terjadi hipertensi 3.       Pemanis digunakan secukupnya 4.       Diberi obat hiperglikemi dan hipoglikemi 5.